Kamis, 02 Juni 2011

PRESTASI WANPRESTASI DALAM HUKUM KONTRAK

1
PRESTASI DAN WANPRESTASI DALAM HUKUM KONTRAK
A. Pengertian Prestasi, Wanprestasi dan Model-Model Prestasi Dalam Suatu Kontrak
Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam
hukum kontrak diaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu
kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan
“term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Adpun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam
pasal 1234 KUH Perdata, yaitu berupa :
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.
Sementara itu, dengan wanprestasi, atau pun yang disebut juga dengan istilah breach of
contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana
mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan
untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga
oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi
tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :
1. Kesengajaan;
2. Kelalaian;
3. Tanpa Kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).
Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum,
hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena
adanya unsur kesalahan dari paar pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni
pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan
2
kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya memang membebaskan
pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).
Disamping itu, apabila seseorang telah tidak dilaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam
kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa perkecualian) tidak dengan sendirinya dia
telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau dalam
undang-undang, maka wanprestasinya sidebitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai
oleh kreditur yakni dengan dikeluarkannya “Akta Lalai” oleh pihak kreditur (lihat pasal 1238
KUH Perdata). Stelsel dengan Akta Lalai ini adalah khas dari negara-negara yang tunduk
kepada Civil Law seperti Perancis, Jerman, Belanda, dan karenanya juga Indonesia.
Sementara di negara-negara yang berlaku sistem common law, seperti inggris dan amerika
serikat, pada prinsipnya tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini.
Dalam praktek akta lalai ini sering disebut dengan:
- Somasi (Indonesia)
- Sommatie (Belanda)
- Sommation (Inggris)
- Notice of Default (Inggris).
- Mahnung (Jerman dan Swiss).
- Einmahnung (Austria)
- Mise en Demeure ( Perancis).
Namun demikian, bahkan di negara-negara yang tunduk kepada Civil Law sendiri, Akta
Lalai tidak diperlukan dalam hal-hal tertentu, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Jika dalam persetujuan ditentukan termin waktu.
b. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi.
c. Debitur keliru memenuhi prestasi.
d. Ditentukan dalam undang-undang bahwa wanprestasi terjadi demi hukum (misalnya
pasal 1626 KUH Perdata).
e. Jika debitur mengakui atau memberitahukan bahwa dia dalam keadaan wanprestasi.
3
B. Model-model Wanprestasi dan Doktrin Pelaksanaan Kontrak secara Substansial
Ada berbagai model bagi para pihak yang tidak memenuhi prestasinya walaupun sebelumnya
sudah setuju untuk dilaksanakannya. Model- model wanprestasi tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Wanpretasi berupa tidak memenuhi prestasi.
b. Wanpretasi berupa terlambat memenuhi prestasi.
c. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.
Dalam hal wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi, daalm ilmu hukum
kontrak dikenal dengan suatu doktrin yang disebut dengan “doktrin pemenuhan prestasi
substansial” adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun satu pihak tidak
melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melasanakan prestasinya
tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara
sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia
disebut telah tidak melaksanakan kontrak secara “material” (material breach).
Karena itu, jika telah dilaksanakan substansial performance terhadap kontrak yang
bersangkutan, tidaklah berlaku lagi doktrin exceptio non adimpleti contractus, yakni doktrin
yang mengajarkan bahwa apabila satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain
dapat juga tidak melaksanakan prestasinya.
Misalnya, jika seorang kontraktor mengikat kontrak dengan pihak bouwheer untuk
mendirikan sebuah bangunan, misalnya dia hanya tinggal memasang kunci bagi bangunan
tersebut sementara pekerjaan-pekerjaan lainnya telah selesai dikerjakan, maka dapat
dikatakan dia telah melaksanakan kontrak secara substansial. Sementara kunci yang tidak
dipasang pada bangunan tersebut bukan berarti dia telah tidak melaksanakan kontrak secara
“material” (material breach).
Akan tetapi tidak terhadap semua kontrak dapat diterapkan doktrin pelaksanaan kontrak
secara substansial. Untuk kontrak jual-beli atau kontrak yang berhubungan dengan tanah
misalnya, biasanya doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial tidak dapat diberlakukan.
4
Untuk kontrak-kontrak yang tidak berlaku doktrin pemenuhan prestasi secara substansial,
berlaku doktrin pelaksanaan prestasi secara penuh, atau sering disebut dengan istilah-istilah
sebagai berikut :
a. strict performance rule;
b. full perfomance rule;
c. perfect tender rule.
Jadi, berdasarkan doktrin pelaksanaan kontrak secara penuh ini, misalnya seorang penjual
menyerahkan barang dengan tidak sesuai (dari segala aspek) dengan kontrak, maka pihak
pembeli dapat menolak barang tersebut. Dalam diagram berikut ini terlihat bagaimana
pemenuhan prestasi dalam kontrak dengan berbagai kemungkinan yuridisnya.
5
Diagram tentang Pemenuhan Prestasi
Dalam Kontrak oleh Para Pihak
Pemenuhan Prestasi
Prestasi wanprestasi
Berbuat sesuatu memberikan sesuatu
Tidak berbuat sesuatu
Tidak Berprestasi Tidak Sempurna
Berprestasi Terlambat
Berprestasi
Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial Doktrin Pelaksanaan
Prestasi Secara Penuh
Dengan memberlakukan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial, maka untuk
mengetahui apakah tidak terlaksananya kontrak merupakan “material” atau tidak,
masalahnya sangat relatif dan dalam praktek sangat ditentukan oleh kebijaksanaan hakim
yang mengadili perkara yang bersangkutan. Sebagai pedoman bagi hakim, biasanya
diberlakukan beberapa kriteria dasar sebagai berikut :
6
1. Kelayakan kompensasi
Dalam hal ini akan dilihat apakah tersedia kompensasi yang cukup memuaskan terhadap
pihak yang dirugikan karena wanprestasi. Apabila tidak cukup baik tersedia kompensasi atau
sulit meghitung ganti rugi, maka pelaksanaan kontrak substansial akan sulit diakui. Jadi
dalam hal yang demikian, pelaksanaan kontrak akan dianggap tidak sustansial, sehingga
dianggap telah terjadi ketidakterlaksanaan kontrak yang material.
2. Hilangnya keuntungan yang diharapkan.
Dalam hal ini, semakin besar keuntungan yang hilang dari adanya pelaksanaan kontrak yang
tidak sempurna, semakin besar pula kemungkinan wanprestasi yang material terhadap
kontrak yang bersangkutan. Sehingga kalau kerugian kepada yang dirugikan tersebut besar,
sulit dikatakan terjadi pelaksanaan kontrak yang substansial.
3. Bagian kontrak yang dilaksanakan.
Untuk dapat dikatakan bahwa pihak tertentu telah melaksanakan kontraknya secara
substansial, dapat diukur dari bagian prestasi yang telah dilakukan. Semakin besar
kemungkinan substansinya pelaksanaan kontrak yang bersangkutan.
4. Kesengajaan untuk tidak melaksanakan kontrak.
Apabila ada bagian kontrak yang tidak dilaksanakan dengan unsur kesengajaan (bukan
karena kelalaian atau sebab-sebab lain yang mengandung unsur iktikad baik), unsur
kesengajaan mana biasanya terlihat dari dengan sengaja mengabaikan kontraknya, atau
dengan sengaja memasang material yang tidak memenuhi standar, dapat dikatakan bahwa dia
belum melaksanakan kontrak secara substansial.
5. Kesediaan untuk memperbaiki prestasi.
Jika pihak yang melakukan wanprestasi dapat memperbaiki dan punya kemauan untuk
memperbaiki prestasinya, maka dalam hal yang demikian dapat dianggap tidak terjadi bukan
wanprestasi yang bersifat material.
6. Keterlambatan melaksanakan prestasi.
7
Keterlambatan melaksanakan prestasi umumnya tidak dianggap sebagai wanprestasi yang
bersifat material. Kecuali jika dengan keterlambatan tersebut akan sangat merugikan pihak
lain.
C. Terminasi Suatu Kontrak
1. Ketentuan dalam kontrak tentang Terminasi
Apakah suatu kontrak yang telah dibuat secara sah dapat diputuskan ditengah jalan. Dan
apakah konsekuensi dari pemutusan kontrak tersebut. Untuk mengetahui hal-hal tersebut
pertama-tama harus dilihat dulu apakah ada ketentuan dalam kontrak yang bersangkutan
mengenai cara-cara dan akibat-akibat pemutusan kontrak tersebut. Ada berbagai
kemungkinan pengaturan tentang pemutusan kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu
sebagai berikut :
a. Penyebutan alasan pemutusan kontrak
Sering kali dalam kontrak diperinci alasan-alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah
pihak dapat memutuskan kontrak. Maka dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat
menyebabkan salah satu pihak memutuskan kontraknya, tetapi hanya wanprestasi seperti
yang disebutkan dalam kontrak saja.
b. Kontrak dapat diputus dengan sepakat kedua belah pihak
Pasal 1266 tersebut, setiap pemutusan kontrak harus dilakukan lewat pengadilan.
1. Tata cara pemutusan kontrak
Disamping penentuan pemutusan kontrak tidak lewat pengadilan, biasanya ditentukan juga
prosedur pemutusan kontrak oleh para pihak tersebut. Sering ditentukan dalam kontrak
bahwa sebelum diputuskan suatu kontrak, haruslah terlebih dahulu diperingatkan pihak yang
tidak memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini bias
dilakukan oleh dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka
salah satu pihak dapat langsung memutuskan kontrak tersebut. Penulisan kewajiban memberi
peringatan seperti ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh KUH Perdata yaitu
ingebrekestelling, yakni dengan dikeluarkannya akta lalai oleh pihak kreditur (lihat pasal
8
1238 KUH Perdata), dimana somasi (dengan berbagai perkecualian) pada prinsipnya
memang diperlukan untuk dapat memutuskan suatu kontrak.
2. Ketentuan dalam pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata
Apakah suatu kontrak yang sudah ditandatangani secara sah dapat dibatalkan/ditarik
kembali? Untuk itu dijawab oleh pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata. Pada prinsipnya pasal
1338 ayat (2) KUH Perdata tidak memperkenankan ditariknya kembali suatu kontrak kecuali
apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu agar suatu kontrak dapat dibatalkan sebagaimana dimaksud antara lain
dalam pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Kontrak tersebut haruslah dibuat secara sah. Sebab jika syarat sahnya kontrak tidak
dipenuhi, batal atau pembatalan kontrak tersebut dapat dilakukan tetapi lewat pasal
1338 ayat (2) KUH Perdata, dan
b. Dibatalkan berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan dalam undang-undang, atau
c. Dibatalkan berdasarkan kesepakatan semua pihak dalam kontrak yang bersangkutan.
3. Pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata
Ada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam hal ini pasal 1266, yang
memberikan ruang yang besar bagi intervensi pengadilan dalam hal pemutusan suatu
kontrak. Selengkapnya pasal 1266 KUH Perdata menyebutkan :
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim.Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian.
9
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk, menurut
keadaan, atas permintaan sitergugat, memberikan sesuatu jangka waktu untuk masih juga
memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Dengan demikian, menurut pasal 1266 KUH Perdata tersebut, dengan alasan salah satu pihak
tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak lainnya dalam kontrak tersebut dapat
membatalkan kontrak yang bersangkutan, akan tetapi pembatalan tersebut tidak boleh
dilakukan begitu saja, melainkan haruslah dilakukan lewat pengadilan.
Mengingat tidak ada prosedur khusus untuk pembatalan suatu kontrak oleh pengadilan, maka
pembatalan tersebut harus ditempuh lewat prosedur gugatan biasa, yang sangat panjang,
berbelit dan melelahkan. Sehingga campur tangan pengadilan dalam hal memutuskan
kontrak, yang semula ditujukan untuk melindungi pihak yang lemah atau tidak berdosa
dalam kontrak tersebut, akhirnya malahan merugikan semua pihak.
Karena itu, tidak mengherankan jika dalam praktek sering ada ketentuan dalam kontrak yang
mengenyampingkan berlakunya pasal 1266 tersebut, yang berarti bahwa kontrak tersebut
dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak (tanpa campur tangan pengadilan) berdasarkan
prinsip exeptio non adimpleti contractus, jika pihak lainnya melakukan wanprestasi.
4. Prinsip perlindungan pihak yang dirugikan
Salah satu prinsip yang sangat mendasar dalam ilmu hukum kontrak adalah prinsip
perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi dari pihak lainnya
dalam kontrak yang bersangkutan.
Berlandaskan kepada prinsip perlindungan pihak yang dirugikan ini maka apabila terjadinya
wanprestasi terhadap suatu kontrak, kepada pihak lainnya diberikan berbagai hak sebagai
berikut :
a. Exeptio non adimpleti contractus
10
Berdasarkan prinsip ini, maka pihak yang dirugikan akibat adanya suatu wanprestasi dapat
menolak melakukan prestasinya atau menolak melakukan prestasi selanjutnya mana kala
pihak lainnya telah melakukan wanprestasi.
b. Penolakan prestasi selanjutnya dari pihak lawan
Apabila pihak lawan telah melakukan wanprestasi, misalnya mulai mengirim barang yang
rusak dalam suatu kontrak jual-beli, maka pihak yang dirugikan berhak untuk menolak
pelaksanaan prestasi selanjutnya dari pihak lawan tersebut, misalnya menolak menerima
barang selanjutnya yang akan dikirim oleh pihak lawan daalm contoh kontrak jual-beli
tersebut.
c. Menuntut restitusi
Ada kemungkinan sewaktu pihak lawan melakukan wanprestasi, pihak lainnya telah selesai
atau telah mulai melakukan prestasinya seperti yang diperjanjikannya dalam kontrak yang
bersangkutan. Dalam hal tersebut, maka pihak yang telah melakukan prestasi tersebut berhak
untuk menuntut restitusi dari piahk lawan, yakni menuntut agar kepadanya diberikan kembali
atau dibayar setiap prestasi yang telah dilakukannya.
Hak untuk menuntut restitusi ini dalam hukum jerman disebut dengan Rucktritt atau
Ablehnung der Leistung, sementara istilah resolution dalam hukum prancis mengacu kepada
baik hak pihak yang dirugikan untuk menuntut restitusi maupun haknya untuk menolak
pemenuhan prestasi selanjutnya dari pihak yang telah melakukan wanprestasi.
5. Prinsip keseimbangan berupa perlindungan pihak yang melakukan Wanprestasi
Ada kemungkinan bahwa sungguhpun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, tetapi
sebagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk menunda sementara
pelaksanaan prestasi atau pun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan pihak
yang melakukan wanprestasi pun mesti dilindungi. Karena itu dalam ilmu hukum kontrak
dikenal prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara kepentingan pihak yang dirugikan
dengan kepentingan dari pihak yang melakukan wanprestasi.
11
Seperti yang telah dijelaskan bahwa hukum kontrak diberikan hak untuk melakukan
terminasi kontrak (dengan berbagai konsekuensinya) kepaad pihak yang dirugikan oleh
tindakan wanprestasi, akan tetapi untuk menjaga keseimbangan, kepada pihak yang telah
melakukan wanprestasi juga diberikan hak-hak atau perlindungan tertentu. Perlindungan
hukum kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Mekanisme tertentu untuk memutuskan kontrak
Agar pemutusan kontrak tidak dilaksanakan secara sembarangan sungguhpun pihak lainnya
telah melakukan wanprestasi, maka hukum menentukan mekanisme tertentu dalam hal
pemutusan kontrak tersebut. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut :
(i) Kewajiban melaksanakan Somasi (pasal 1238 KUH Perdata).
(ii) Kewajiban memutuskan kontrak timbal balik lewat pengadilan (pasal 1266 KUH
Perdata).
b. Pembatasan terhadap pemutusan kontrak
Seperti telah dijelaskan bahwa jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, maka
pihak lainnya dalam kontrak tersebut berhak untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan.
Akan tetapi terhadap hak untuk memutuskan kontrak oleh pihak yang telah dirugikan akibat
wanprestasi ini berlaku beberapa restriksi yuridis berupa :
1. Wanprestasi harus serius,
2. Hak untuk memutuskan kontrak belum dikesampingkan,
3. Pemutusan kontrak terlambat dilakukan,
4. Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan.
Untuk itu akan ditinjau satu per satu dari restriksi yuridis tersebut.
1. Wanprestasi harus serius
Sebagaimana diketahui bahwa tidak terhadap semua wanprestasi pihak yang dirugikan dapat
memutuskan kontrak tersebut. Melainkan pihak yang dirugikan harus dapat pula
menunjukkan bahwa wanprestasi tersebut merupakan wanprestasi yang serius. Jika hanya
terhadap wanprestasi yang tidak serius, yakni jika salah satu pihak tidak melakukan suatu
12
kewajiban kecil, maka pihak yang lainnya tidak berhak untuk memutuskan kontrak tersebut,
walaupun tidak tertutup kemungkinan baginya untuk memintakan ganti rugi jika cukup
alasan untuk itu.
Mekanisme penentuan sejauh mana serius atau tidaknya suatu wanprestasi terhadap suatu
kontrak adalah sebagai berikut:
a. Melihat apakah ada ketentuan dalam kontrak yang menegaskan pelaksanaan
kewajiban yang mana saja yang dianggap wanprestasi terhadap kontrak tersebut; atau
b. Jika tidak ada ketentuan dalam kontrak, maka hakim dapat menentukan apakah tidak
melaksanakan kewajiban tersebut cukup serius untuk dianggap sebagai suatu
wanprestasi terhadap kontrak yang bersangkutan.
2. Hak untuk memutuskan kontrak belum dikesampingkan
Umumnya diterima dalam teori hukum kontrak bahwa hak untuk melakukan pemutusan
kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi tidak berlaku bagi manakala pihak
yang dirugikan tersebut telah mengenyampingkan hak untuk memutuskan kontrak tersebut.
Pengenyampingan hak untuk memutuskan kontrak mempunyai konsekuensi hukum sebagai
berikut :
a. Hilangnya hak untuk memutuskan kontrak. Sekali pihak yang dirugikan karena
tindakan wanprestasi dari pihak lain telah mengenyampingkan haknya untuk
memutuskan kontrak yang bersangkutan, maka dia tidak dapat lagi nantinya
mengubah pendiriannya itu. Artinya, haknya untuk memutuskan kontrak tersebut
sudah hilang karena dilepaskannya itu.
b. Tidak berpengaruh terhadap penerimaan ganti rugi. Seperti telah diketahui bahwa
dengan dikesampingkannya hak untuk memutuskan kontrak, maka yang bersangkutan
hilang haknya untuk memutus kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi yang hilang
hanyalah haknya untuk memutuskan kontrak. Karena, dalam ilmu hukum kontrak
13
diterima prinsip bahwa sungguhpun pihak yang dirugikan karena wanprestasi telah
melepaskan haknya untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan, tetapi dia tetap
berhak untuk menerima ganti rugi jika dia memang menderita kerugian akibat
wanprestasi dari pihak lainnya itu.
Pada prinsipnya, pengenyampingan hak untuk memutuskan suatu kontrak oleh pihak yang
dirugikan oleh adanya tindakan wanprestasi dapat dilakukan dengan dua jalan berikut:
a. Dilakukan secara tegas.
Dalam hal ini pihak yang berhak memutuskan kontrak tersebut menyatakan dengan tegas
bahwa dia telah mengenyampingkan haknya untuk memutuskan kontrak.
b. Dilakukan dengan tindakan.
Akan tetapi yang lebih sering terjadi adalah bahwa pihak yang berhak memutuskan suatu
kontrak tidak menyatakan pengenyampingan secara tegas, melainkan dapat disimpulkan dari
tindakan-tindakan yang dilakukannya. Misalnya dia masih bersedia bahkan menggunakan
barang yang dikirimkan oleh pihak pembeli, sungguhpun barang tersebut tidak seperti yang
diperjanjikan, atau terlambat pengirimannya.
3. Pemutusan Kontrak tidak terlambat dilakukan.
Pemutusan kontrak oleh pihak yang dirugikan karena pihak lain telah melakukan wanprestasi
haruslah dilakukan dalam waktu yang pantas (reasonable time). Hal ini untuk memberikan
kepastan bagi pihak yang telah melakukan wanprestasi untuk meneruskan atau tidak
wanprestasi yang belum sempat dilaksanakannya. Apabila selama jangka waktu yang wajar
terhadap pemutusan kontrak tidak digunakan untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan ,
maka dia telah “terlambat” memutuskan kontraknya atas dasar bahwa dia telah “menerima”
atau “mentoleransi” atas tindakan yang mengandung unsur wanprestasi tersebut, sehingga dia
tidak dapat lagi memutuskan kontrak yang bersangkutan.
14
4. Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan.
Apakah unsur kesalahan disyaratkan agar pihak lainnya dalam kontrak dapat memutuskan
kontrak, atau memperoleh hak untuk menerima ganti rugi. Untuk itu, ada berbagai variasi
dari sistem hukum disatu negara dengan negara lain.
Dalam sistem hukum Perancis misalnya, disana berlaku ketentuan bahwa pada prinsipnya
unsur kesalahan diperlukan untuk dapat diputuskannya suatu kontrak atau dibayar suatu ganti
rugi. Prinsip persyaratan unsur kesalahan ini dalam hukum prancis terdapat beberapa
perkecualian.
Dalam hukum Perancis, relevansi dari elemen “kesalahan” dalam hal terminasi kontrak atau
pemberian ganti rugi terwujud dalam dua bentuk sebagai berikut :
a. Jika unsur “kesalahan” diperlukan untuk memberikan ganti rugi, maka unsur
“kesalahan” tersebut juga diperlukan untuk menggunakan hak dari pihak yang
dirugikan untuk dapat memutuskan kontrak;
b. Pada prinsipnya pemutusan kontrak merupakan “discresi” dari pengadilan. Karena
itu dalam kewenangan discresi tersebut, pihak pengadilan akan mempertimbangkan
bisa atau tidaknya suatu kontrak diputuskan, salah satu faktor yang
dipertimbangkan adalah sejauh mana seriusnya kesalahan dari pihak yang
melakukan wanprestasi.
Bagaimana halnya dalam sistem KUH Perdata Indonesia? Pada prinsipnya KUH Perdata
tidak mensyaratkan eksistensi unsur “kesalahan” agar suatu kontrak dapat diputuskan oleh
pihak yang dirugikan atau agar dapat dituntutnya suatu pembayaran ganti rugi. Akan tetapi
berdasarkan pasal 1266 KUH Perdata yang melibatkan pengadilan untuk memutuskan
kontrak timbal balik, maka penggunaan diskresi pengadilan untuk memutuskan kontrak
tersebut juga antara lain akan menggunakan faktor “kesalahan” pihak pelaku wanprestasi
untuk dapat menentukan apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak.
15
Dengan demikian, menurut sistem KUH Perdata Indonesia, maka pada prinsipnya asal ada
kewajiban yang tidak dilaksanakan, dan kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup
materiil (material breach), maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah
dapat dimintakan. Asal saja ketidak terlaksanaan kewajiban tersebut bukan karena hal-hal
yang bersifat force majeure, yang untuk itu tidak diatur oleh hukum yang mengatur tentang
wanprestasi, tetapi sudah merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur
tentang force majeure dan tentang “resiko”.
6. Syarat Restorasi dalam Terminasi Kontrak
Pihak yang dirugikan karena wanprestasi atas kontrak pada prinsipnya dapat memutuskan
kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi, jika pemutusan kontrak tersebut dilakukan dengan
maksud agar pihak yang dirugikan dapat mendapatkan kembali prestasinya yang telah
diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan oleh
wanprestasi tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan restorasi, yakni kewajiban dari
pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya telah
dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi tersebut.
Bentuk-bentuk dari tindakan restorasi oleh pihak yang dirugikan oleh wanprestasi kepada
pihak yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut :
a. Pengembalian benda secara fisik
Apabila pihak yang melakukan wanprestasi telah menyerahkan suatu benda tertentu kepada
pihak yang lainnya dalam rangka melaksanakan kewajibannya berdasarkan kontrak, tetapi
kemudian pihak yang dirugikan ingin memutuskan kontraknya, maka sebagai tindakan
restorasi, pihak yang dirugikan harus menyerahkan kembali benda tersebut “secara fisik”
kepada pihak yang melakukan wanprestasi yang bersangkutan.
b. Pembayaran kompensasi
Akan tetapi jika benda tersebut tidak dapat dikembalikan secara fisik, amka apabila ingin
memutuskan kontrak, pihak yang telah dirugikan oleh wanprestasi tersebut harus
16
memberikan kompensasi sejumlah manfaat yang telah diterimanya. Hal ini dapat terjadi
dalam hal-hal sebagai berikut :
c. Karena benda tersebut menyatu dengan bendanya pihak yang dirugikan oleh
wanprestasi,ataupun
d. Karena prestasi yang telah diberikan oleh pihak melakukan wanprestasi tersebut berupa
benda yang tidak dapat dikembalikan, misalnya dalam bentuk jasa.
7. Akibat dari Terminasi Kontrak
Jika suatu kontrak diputuskan karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, maka akan
berlaku beberapa akibat hukum sebagai berikut:
a. Timbulnya kewajiban untuk melakukan restorasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya
bahwa bagi pihak yang ingin memutuskan kontrak karena pihak yang lainnya telah
melakukan restorasi terhadap pihak yang telah melakukan wanprestasi tersebut.
Dalam hal ini, jika pemutusan kontrak tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak
yang dirugikan dapat mendapatkan kembali prestasinya yang telah diberikan kepada
pihak yang melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan oleh wanprestasi
tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan restorasi, yakni kewajiban dari
pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya
telah dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi tersebut.
b. Berlaku secara ex tunc ataupun ex nunc
Dengan diputuskannya kontrak oleh pihak yang dirugikan karena pihak yang lainnya
telah melakukan wanprestasi, apakah dengan demikian keadaan dikembalikan seperti
sebelum kontrak dilakukan yakni yang mempunyai efek yang retrospektif (kontrak
tersebut dianggap sama sekali tidak ada, ataupun kontrak hanya membebaskan para
pihak untuk melaksanakan kewajibannya untuk masa setelah wanprestasi, sementara
17
apa yang telah dilakukan sebelum wanprestasi tetap dianggap sah, yang disebut
sebagai mempunyai efek yang ex nunc, yakni yang mempunyai efek yang prospektif.
Tidak kelihatan ketentuan yang tegas dalam KUH Perdata Indonesia tentang efek dari
berlakunya pemutusan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi ini. Akan
tetapi dalam ilmu hukum kontrak terdapat berbagai pandangan tentang efek yang prospektif
ini, bergantung kepaad hukum dari negara mana yang diberlakukan. Pemutusan kontrak
dalam hukum prancis, atau yang disebut dengan resolution mempunyai efek yang retrospektif
(ex tunc), sementara pemutusan kontrak dalam hukum jerman atau yang disebut dengan
rucktritt dahulunya juga mempunyai akibat yang retrospektif. Tetapi dalam hukum jerman
yang modern, pemutusan kontrak sudah dianggap sebaagi tindakan yang mempunyai efek ex
nunc.
Disamping itu, dinegara-negara yang berlaku hukum Common Law, tidak ada ketentuan yang
umum, tetapi pendekatannya dilakukan secara kasus per kasus, dalam arti ada kasus yang
diterapkan efek yang ex tunc, tetapi ada pula kasus yang menerapkan efek yang ex nunc.
a. Akibat terhadap hak untuk mendapatkan ganti rugi
Seperti telah disebutkan bahwa jika ada pihak yang dirugikan karena wanprestasi dari
pihak yang lainnya, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat memutuskan kontrak
yang bersangkutan.
Pada prinsipnya dalam ilmu hukum diterima prinsip bahwa upaya pemutusan kontrak karena
wanprestasi tersebut tidak diberlakukan secara bersamaan dengan upaya paksaan untuk
melaksanakan kontrak, karena jelas itu merupakan dua hal yang bertentangan. Akan tetapi
dengan pemutusan kontrak masih dimungkinkan diberlakukan juga upaya ganti rugi dalam
aksus yang sama, jika ada alasan untuk itu.
Hanya saja, prinsip pelarangan penerimaan ganti rugi secara ganda selalu dielakkan dalam
kontrak, karena hal tersebut dapat merupakan penerimaan tanpa hak (unjust enrichment).
Karena itu jika daalm satu kasus yang sama, disamping berlaku hak dari pihak yang
18
dirugikan untuk memutuskan kontrak, berlaku juga ganti rugi, maka ganti rugi tersebut
haruslah dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak menjadi upaya ganti rugi kedua disamping
upaya pemutusan kontrak yang bersangkutan.
D. Repudiasi Terhadap Kontrak
1. Pengertian Repudiasi
Dalam hukum kontrak, yang dimaksud dengan repudiasi adalah suatu manifestasi/
pernyataan mengenai ketidaksediaan atau ketidakmampuan untuk melaksanakan kontrak
yang sebelumnya telah disetujui, manifestasi mana dibuat sebelum tibanya waktu
melaksanakan kontrak tersebut.
Namun demikian, disamping repudiasi yang dilakukan sebelum pelaksanaan kontrak atau
yang disebut dengan repudiasi “anticipatory” terdapat juga repudiasi yang dilakukan setelah
jatuh waktu pelaksanaan kontrak. Repudiasi yang dilakukan setelah jatuh waktu pelaksanaan
kontrak ini lazim disebut dengan repudiasi biasa (ordinary).
2. Konsekuensi Yuridis dari Repudiasi
Adapun yang merupakan konsekuensi-konsekuensi yuridis dari adanya repudiasi atas suatu
kontrak adalah :
a. Repudiasi dapat menunda atau bahkan membebaskan pihak lain dari kewajibannya
melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut, dan
b. Repudiasi memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat segera
menuntut ganti rugi, sungguhpun kepada pihak yang melakukan repudiasi belum
jatuh waktu untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan kontrak.
3. Rationale Diperkenankannya Tuntutan Ganti Rugi Lebih Awal
Adapun yang menjadi rationale terhadap diperkenankannya suatu tuntutan ganti rugi yang
lebih awal jika terjadi tindakan repudiasi adalah sebagai berikut :
19
a. Posisi yang lebih awal
Sudah barang tentu sangat diperlukan suatu posisi yang lebih awal dalam suatu proses
hukum sehingga proses penyelesaian secara hukum dapat lebih optimal. Dengan lebih awal
ditetapkannya pemberitahuan ganti rugi dalam suatu repudiasi, maka konsekuensinya
menjadi sebagai berikut :
(i) Mencari saksi lebih mudah, karena masih hidup atau belum berpindah tempat;
(ii) Pengetahuan dan dokumen tentang kontrak tersebut masih fresh.
b. Alasan kepastian hukum
Kepastian hukum juga menjadi alasan mengapa suatu ganti rugi dalam repudiasi dapat
diberikan lebih awal, yakni pada saat belum jatuh temponya pelaksanaan prestasi dari pihak
yang melakukan repudiasi. Sehingga dengan demikian pihak yang dirugikan oleh tindakan
repudiasi ini dapat segera mengambil sikap apakah misaknya membuat kontrak pengganti
dengan pihak lain, melakukan mitigasi atas kerugiannya.
4. Perwujudan tindakan repudiasi
Suatu tindakan repudiasi atas suatu kontrak dapat diwujudkan dengan cara tegas atau
secara inklusif.
a. Repudiasi secara tegas
Repudiasi dapat dilakukan secara tegas maksudnya, pihak yang melakukan repudiasi
menyatakan kehendaknya dengan tegas bahwa dia tidak ingin melakukan kewajibannya
yang terbit dari kontrak. Maka pernyataan tidak lagi mau melaksanakan kewajibannya
itu menyebabkan timbulnya repudiasi.
b. Repudiasi secar inklusif
Disamping secara tegas tegas, maka tindakan repudiasi dapat juga dilakukan tidak
secara tegas, tetapi secara inklusif. Maksudnya dari fakta-fakta yang ada dapat diambil
kesimpulan bahwa sebenarnya salah satu pihak telah tidak akan melakukan
kewajibannya yang terbit berdasarkan kontrak.
20
Kriteria utama terhadap adanya repudiasi secara inklusif adalah bahwa pihak yang
melakukan repudiasi menunjukkan tindakan atau maksudnya secara “logis dan jelas” bahwa
dia tidak akan melaksanakan kewajibannya yang terbit dalam kontrak.
Tindakan repudiasi secara inklusif ini dapat terjadi dengan cara-cara :
1. Dengan tindakan;
2. Dengan indikasi;
3. Ketidakmampuan untuk melaksanakn kontrak
4. Karena kepailitan.
1. Repudiasi dengan tindakan
Salah satu pihak dalam kontrak yang melakukan tindakan tertentu dapat dianggap
bahwa dia tidak lagi ingin melaksanakan kewajibannya berdasarkan kontrak.
Misalnya jika pihak penjual sebidang tanah, tetapi setelah kontrak jual beli
ditandatangani, pihak penjual telah menjual tanah yang bersangkutan kepada pihak
ketiga. Sehingga karena itu, pihak pembeli pertama tidak perlu lagi melaksanakan
kewajibannya dan dapat segera menuntut ganti rugi.
2. Repudiasi dengan indikasi.
Bisa juga terjadi Suatu Repudiasi jika salah satu pihak dalam kontrak menunjukkan
indikasinya bahwa dia tidak akan atau tidak mungkin lagi untuk melaksanakan
kewajibannya yang terbit dari kontrak. Misalnya jika pihak tersebut tidak
melakukan persiapan-persiapan untuk melaksanakan kewajibannya, padahal
persiapan-persiapan tersebut mutlak maka harus dilakukannya.
3. Repudiasi karena ketidakmampuan untuk melaksanakan kontrak.
Ketidakmampuan salah satu pihak untuk melaksanakan kontrak, sungguhpun dia
masih bermaksud untuk melaksanakannya, juga dapat menyebabkan timbulnya
suatu repudiasi. Biasanya yang disyaratkan agar dapat terjadi repudiasi adalah
bahwa ketidakmampuan untuk melaksanakan kewajibannya itu cukup “jelas” tanpa
21
memperdulikan apakah ketidakmampuan itu terjadi dengan kontrol atau diluar
kontrol pihak yang melakukan repudiasi tersebut.
4. Repudiasi karena kepailitan
Kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap salah satu pihak juga dapat
menimbulkan suatu repudiasi. Sehingga pihak lain dapat segera melakukan klaim
kedalam boedel pailit. Aka tetapi kepailitan tersebut haruslah dinyatakan oleh
Pengadilan. Jika misalnya salah satu pihak dalam keadaan insolvensi secara fakta
tetapi tidak ada putusan pengadilan untuk itu, maka umumnya diterima anggapan
bahwa dalam hal yang demikian sudah tidak terjadi repudiasi karena alasan
kepailitan/insolvensi tersebut.
5. Pembatalan repudiasi
Apakah suatu repudiasi dapat dibatalkan oleh pihak yang melakukan repudiasi tersebut?
Dalam ilmu hukum kontrak diajarkan bahwa suatu repudiasi sampai batas-batas tertentu
dapat dibatalkan oleh pihak yang melakukan tindakan repudiasi tersebut. Dalam hal ini, suatu
repudiasi tidak lagi dapat dibatalkan jika :
a. Pihak yang dirugikan telah menuntut ganti rugi; atau
b. Pihak yang dirugikan telah mengubah posisinya secara signifikan karena adanya
kontrak tersebut; atau
c. Pihak yang dirugikan telah menyatakan bahwa dia menganggap bahwa repudiasi
tersebut telah final.
E. Resisi Terhadap Kontrak
Yang dimaksud dengan resisi adalah pembatalan suatu kontrak sehingga kontrak tersebut
menjadi status quo. Resisi terhadap kontrak tersebut dapat terjadi dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. Jika kontrak tersebut dibuat oleh orang yang tidak cakap berbuat, yakni dibuat oleh
orang dibawah umur, orang gila dan sebagainya.
22
b. Jika terdapat cacat hukum dalam kata sepakat dari kontrak tersebut, yaitu dalam hal
adanya :
- paksaan (force)
- kesalahan (mistake)
- penipuan (fraud, deceit)
Jadi dalam hal resisi, suatu kontrak dapat dibatalkan, artinya kontrak batal jika dimintakan
untuk dibatalkan. Jika tidak dimintakan untuk dibatalkan, maka kontrak tetap sah. Sebaliknya
berbeda dengan resisi, maka ada juga yang disebut dengan “nullity” yang menyebabkan
kontrak “batal demi hukum”, yakni batal dengan sendirinya walaupun tanpa dimintakan oleh
pihak manapun.
Suatu nullity terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Hal tertentu yang merupakan objek dari kontrak tidak jelas;
b. Kontrak dibuat dengan causa yang tidak diperbolehkan;
c. Kontrak dibuat dengan bertentangan dengan moral, ketertiban umum atau kebiasaan.
Dengan demikian, perbedaan antara resisi dengan nullity adalah sebagai berikut :
a. Dalam resisi penampilan kontrak secara sah, tetapi akibatnya mengandung cacat
(yang tersembunyi) sehigga menyebabkan kontrak tersebut menjadi batal.
Sementara dalam nullity, penampilan kontrak itu sendiri yang cacat hukum
sehingga mempunyai akibat yang batal demi hukum.
b. Untuk resisi, agar kontrak batal, para pihak harus meminta agar kontrak yang
bersangkutan dibatalkan, sedangkan dalam nullity, kontrak batal demi hukum
(dengan sendirinya).
c. Alasan untuk resisi adalah karena adanya cacat dalam kesepakatan kehendak
atau kecakapan berbuat, sementara untuk nullity, cacatnya pada causa yang
tidak diperbolehkan, objek dari kontrak yang tidak jelas, aatu kontraknya
bertentangan dengan moral, ketertiban umum dan kebiasaan.
23
F. Reformasi Kontrak
Jika dengan resisi dimaksudkan untuk membatalkan kontrak sehingga kontrak dianggap tidak
pernah ada sama sekali, maka dengan pranata hukum kontrak yang disebut dengan reformasi
dimaksudkan untuk mengubah bahasa dalam kontrak sehingga sesuai dengan maksud para
pihak. Dengan demikian, jika dengan resisi dimaksudkan untuk membatalkan kontrak yang
bersangkutan, sementara dengan reformasi lebih dimaksudkan untuk mempertahankan
kontrak yang sudah ada, bukan untuk membatalkannya.
Misalnya jika dalam kontrak jual-beli dimana pihak penjual bermaksud menjual 200 buah
kontainer, tetapi sekretaris salah mengetiknya sehingga tertulis dalam kontrak 500 buah
kontrainer, maka terhadap kontrak seperti ini dapat ditempuh upaya “reformasi”, yakni upaya
hukum untuk mengubah bahasa dalam kontrak sehingga sesuai dengan maksud dari para
pihak. Dengan demikian, kontrak tersebut tidak pernah dibatalkan dan tetap valid berlakunya.
Adapun yang merupakan landasan terhadap berlakunya upaya “reformasi” adalah adanya
kesalahan dari perumus dari kontrak. Dalam hal ini sudah semestinya kontrak tersebut
diperbaiki (direformasi) agar sesuai dengan kehendak dari para pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar