Kamis, 02 Juni 2011

KEWARISAN SAUDARA

BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang.
Hukum waris merupakan  salah  satu bagian dari  hukum perdata secara  keseluruhan  dan  merupakan  bagian  terkecil  dari  hukum kekeluargaan.  Hukum Waris juga merupakan bagian dari Hukum Islam. Hukum  waris  sangat  erat  kaitannya  dengan  ruang lingkup  kehidupan  manusia,  sebab  setiap  manusia  pasti  akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat kematian itulah akan adanya waris-mewarisi.
Di dalam aturan kewarisan fiqih sunni, ahli waris sepertalian darah dibagi kepada tiga golongan, yaitu: zawi al-furud, ‘asabah dan zawi al-arham. Zawi al-furud adalah ahli waris yang bagiannya dalam warisan ditentukan secara pasti, misalnya seperdua, sepertiga, seperenam dan seterusnya. Mereka ini antara lain adalah anak perempuan, sekiranya tidak didampingi oleh anak laki-laki; ibu; saudara seibu; saudara kandung atau seayah yang perempuan, sekiranya tidak didampingi oleh saudara laki-laki yang sejenis dengannya. Keberadaan dan penentuan hak tersebut didasarkan kepada arti zahir ayat-ayat quran dan hadis-hadis Rasulalah. Karena itu, pada dasarnya mereka hanya berhak atas saham yang telah ditentukan. Asabah adalah ahli waris yang mempunyai bagian terbuka dalam warisan dan karenanya selalu mengambil sisa setelah dikeluarkan zawi al-furud tadi.
2.    Rumusan Masalah.
a.       Mengetahui tentang kewarisan saudara
b.      Mengtehui tentang kewarisan kakek
c.       Pendapat sahabat, ulam, Hukum Islam dan kitab Undang-undang Perdata (BW)
3.    Tujuan Masalah.
a.       Memberikan wawasan pada kita dalam masalah pembagian puska waris sudara dan kakek.
b.      Menjadikan sumber bacaan bagi orang yang membaca makalah ini
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kewarisan Saudara
a.    Saudara dan ahli waris penerusnya
Para ulama sepakat untuk membeda-bedakan saudara kepada yang kandung, seayah dan seibu. Alasan paling kuat yang digunakan untuk pembedaan ini haruslah al’qira ah aya-syazzah yang menyatakan bahwa saudara yang dimaksud dalam surat an-Nisa ayat 12 adalah saudara seibu.  
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) . (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha men.getahui lagi Maha Penyantun
Mengenai pembedaan antara yang kandung dan seayah, ada sebuah riwayat dari Ali yang berbunyi.
Maksudnya :
Ali  Ra. Berkata, kamu  sekalian membaca ayat ini, “min ba’di wasiyyat tusuna biha au dain” ; bahwa Rasulullah menetapkan utang harus ditunaikan sebelum wasiat.(Dan beliau menetapkan) orang-orang yang bersaudara kandung saling mewarisi dengan saudara seayah. Seorang akan mewarisi saudara kandung, tidak saudara seayah.[1]  
1.    Saudara kandung dan seayah
Jumhur ulama berpendapat bahwa saudara kandung lebih kuat daripada yang seayah. Sedang saudara seibu berbeda kedudukan dengan dua sebelumnya, karena dia berhak sebagai zawi al-furud, sedang dua yang lainnya berhak menjadi asabah. Hubungan saudara kandung dengan seayah dibandingkan kepada hubungan keturunan derajat pertama (anak) dengan keturunan derajat kedua (cucu). Jadi selama masih ada saudara laki-laki kandung, saudara seayah mnjadi terhijab.
Saudara laki-laki menjadi asabah sekiranya tidak ada keturunan laki-laki atau ayah atau kakek,  berdsarkan an-Nisa ayat 176, dan karena itu menarik saudara perempuannya menjadi ‘asabah bi al-gair. Namun ketika mawaris bersama-sama dengan anak perempuan terjadi perbedaan pendapat, apakah akan menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘asabah bi al-gair ataukah tidak. Jumhur ulama menganggap saudara laki-laki itu menarik saudara perempuannya dengan alasan semua zawi al-furud yang ada dalam Qur’an dan sederajat dengan ‘asabah bi an-nafs akan ditarik menjadi ‘asabah bi al-gair. Ibnu Abbas, yang kemudian diikuti oleh Ibnu Hazm, menganggap saudara tersebut tidak akan menarik saudara perempuannya menjadi ‘asabah karena dalil yang digunakanya adalah Hadist Ibnu Abbas. Disana tidak ada perintah untuk menarik orang perempuan menjadi ‘asabah bi al-gair. Menurut keduanya, ketentuan yang dianut jumhur hanya berlaku terhadap saudara-saudara yang mewarisi berdasarkan Qur’an, yaitu ketika tidak ada keturunan perempuan.
Selanjutnya menurut jumhur, saudara perempuan kandung apabila mewarisi sebagai ‘asabah ma’a al-gair (Hadist Ibnu Masud), akan menghijab semua saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Ibnu Abas menolak pendapat ini yang menyatakan bahwa saudara perempuan dalam keadaan apapun tidak berhak menjadi ‘asabah ma al-gair. Pendapat ini diikuti oleh Ibnu Hazm dengan sedikit pergeseran. Menurut beliau, saudara perempuan akan berhak menjadi ‘asabah sekiranya semua ‘asabah bi an-nafs, betapapun jauhnya, sudah tidak ada. Ibnu Hazm meletakkan Hadist Ibnu Mas’ud sesudah Hadis Ibnu Abbas.
Cara pusaka saudara seayah ialah dengan ‘ushubah, bila tidak ada ahli waris yang menghijabnya, sebagaimana halnya cara pusaka saudara kandung. Hanya saja kalau sudah tidak ada sisa harta peninggalan mereka tidak dapat menggabungkan diri kepada saudara-saudara seibu dalam mendapatkan 1/3, lantaran mereka tidak mempunyai garis yang sama dalam mempertemukan nasabnya kepada ibu, seperti halnya saudara-saudara kandung.[2]
Saudara seayah adalah kakak atau adik mayit seayah. Ahli waris ini hampir sama dengan saudara kandung yaitu terdiri dari 5 macam bagian. Saudara seayah ini akan gugur jika ada ayah, anak laki-laki atau cucu laki-laki  dan saudara laki-laki sekandung atau ada dua saudara perempuan sekandung.[3]
1.      Setengah (1/2) jika sendirian.
2.      Dua pertiga (2/3) jika berdua ataulebih.
3.      Asabah bi l-ghair jika ada saudara laki-laki seayah.
4.      Asabah ma’a l-gair jika ada anak atau cucu perempuan.
5.      Seperenam (1/6) sebagai pelengkap dua pertiga. Dasar ini diqiaskan dengan bagian cucu perempuan yang mewarisi bersama seorang anak perempuan.
2.    Saudara seibu
Saudara seibu akan mengambil seperenam kalau satu orang dan sepertiga sekiranya dua orang atau lebih. Mereka akan berbagi rata walaupun antara laki-laki dan perempuan. ‘Illat kesamaan ini adalah kedudukan mereka yang selalu sebagai zawi al-furud. Seperti telah disebutkan, asas laki-laki mendapat dua kali perempuan hanya berlaku dikalangan ahli waris ‘asabah.
Walaupun terasa ganjil, pendapat bahwa mereka akan berbagi rata dapat diterima, karena nas Quran yang mengatur hak saudara dalam an-Nisa ayat 12 itu tidak membedakan hak laki-laki dan perempuan. Jadi arti ‘ibarat an-nass ayat yang digunakan. Namun begitu asas dua berbanding satu dapat pula diterapkan kepada keturunan (ayat 11) dan saudara (ayat 176) tanpa menyebutkanya khusus untuk ‘asabah. Jadi cara dilalat an-nass ketentuan dalam ayat-ayat tersebut diberlakukan kepada saudara dalam an-Nisa’ ayat 12 itu.
Saudara seibu adalah anak-anaknya ibu si mayit atau kakak dan adik mayit seibu atau saudara tiri si mayit yang lahir dari ibu. Saudara seibu ini berbeda dengan saudara sekandung atau saudara seayah. Pada saudara seibu tidak dibedakan jenis laki-laki atau perempuan. Semuanya mendapat bagian yang sama. Tidak ada asabah pada saudara seibu. Mereka mempunyai dua macam bagian, yaitu:[4]
1.      Seperenam (1/6) jika sendirian.
2.      Sepertiga (1/3) jika berdua atau lebih.
B.  Pusaka kakek
Arti kakek dan macamnya para faradhiyun membedakan kakek kepada dua macam, yakni:
a.       Kakek shahih
b.      Kakek ghairu
Kakek shahih adalah kakek yang hubungan nasabnya dengan si mati tanpa selingi oleh orang perempuan. Seperti ayahnya ayah dan ayah dari ayahnya ayah sampai betapa jauh mendakinya.
Kakek ghairu shahih ialah kakek yang hubungan nasabnya dengan si mati dengan diselingi oleh orang perempuan. Seperti ayahnya ibu dan ayah dari ibunya ayah.
Status kakek shahih dalam mempusakai.[5]
Tidak sedikit nash-nash,baik dari al-Qur’an maupun al-Hadist yang memakai lafazh ab (ayah) tetapi yang dimaksud sebenarnya adalah jad (kakek). Misalnya dalam firman Tuhan yang tercantum dalalm surat al-A’raf:27
 “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.
Ibu-bapak yang dilukiskan dengan dengan rangkaina kata-kata: bawaikum dalam ayat tersebut ialah nabi Adam dan Hawa keduanya ada adalah nenek moyang kita bukan ibu-bapak kita yang hakiki.[6]
Dalam surat Yusuf ayat: 38
"Dan aku pengikut agama bapak-bapakku Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada Kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).”
Tuhan menisbatkan Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub terhadap Yusuf dengan bapak, pada hl mereka itu adalah kakek-kakek.
Didalam suatu hadist yang ditakhrijka oleh al-Bukhary diterangkan bahwa Rasulullah  saw. Bersabda:
“wahai bani Ismail (belajar) memanahlah kamu sebab ayahmu kalian adalah pemanah d...............dst.”
Yang dimksud dengan sebutan ayah dalam Hadist ini, bukan ayah sebenarnya, tetapi leluhur-leluhur mereka.
Juga nabi pernah bersabda:
“sam itu adalah bapaknya orang Arab dan Ham itu bapaknya orang Habsyi”.
Jelas kiranya bahwa bapak di sini maksudnya ialah nenek moyang mereka). Dengan demikian, maka nash-nash yang diambil sebagai sumber hukum untuk menetapkan bagian ayah dalam mempusakai, berlaku juga untuk menetapkan bagian kakek selama ayah masih ada, kakek tidak dapat mempusakai, karena ia dipertalikan nasabnya dengan si mati melalui ayah.
Kakek dapat menduduki status ayah bila sudah tidak ada:
1.      Ayah dan
2.      Saudara-saudara/saudari- saudari sekandung atau seayah
Pusaka kakek shahih
Oleh karna kakek shahih itu menduduki status ayah dengan ketentuan seperti tersebut di atas, maka ia mendapat bagian pusaka seperti bagian aya juga, yaitu:
1.      1/6 fardh,dalam keadaan bila si mati yang mewariskan harta peninggalannya mempunyai anak turun yang berhak waris yang laki-laki(far’u-warist-mudzakkar).
2.      1/6 fardh, dan sisa dengan jalan ‘ushubah, dalam keadaan bila si mati yang mewariskan harta peninggalannya mempunyai anak turunan yang berhak wars yang perempuan (far’u-waits-muannas).
Ushubah, dalam keadaan bila si mati yang mewariskan harta peninggalannya tidak mempunyai far’u-warits secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan, atau bila ia mempunyai anak turunan yang tidak behak menerima pusaka (far’u ghairu-warits), seperti cucu perempuan pancar perempuan. Kitab Undang-undang hukum waris mesir menta’rifkan dan menentukan bagian kakek shahih seperti bagian ayah, pada fasal9 a.2
“kakek shahih ialah leluhur laki-laki yang tidak dimasuki pertalian nasabnya dengan si mati oleh perempuan, ia mendapat farakh seper enam dengan ketentuan seperti yang telah dijelaskan pada alinea yang barulalu”.
Dengan demikian bagian kakek shahih itu oleh Undang-Undang diindentikan dengan bagian ayah. Hanya saja ia dapat menggunakan haknya ini apanila ayah si mati sudah tidak ada.[7]
C.  Hak Kakek Ketika Bersama dengan Saudara
Perbedaan pendapat tentang hak kakek dan saudara sekiranya sama-sama mewarisi, merupakan perbedaan yang paling luas yang pernah terjadi di masa sahabat. Demikian luasnya perbedaan ini sehingga sementara orang meriwayatkan bahwa ‘Umar pernah berucap, “ orang yang paling dekat (ajra ‘ukum) dengan neraka adalah orang yang paling mudah (ajra ‘ukum) berfatwa tentang hak saudara dan kakek ketika sama-sama menjadi ahli waris.
Ibnu Hazm telah menghimpun pendapat-pendapat yang ada di masa sahabat. Ternyata beberapa dari mereka mempunyai lebuh dari satu pendapat tetapi kadang-kadang tanpa penjelasan tanpa penjelasan dan tertib waktunya. Di bawah ini diturunkan uraian Ibnu Hazm tersebut, tetapi telah dikelompokan dan dilengkapi dengan pendapat ulama-ulama madzhab.
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat.[8]
(1) Tidak memberi fatwa. Sebagian sahabat tidak mau memberi fatwa (keputusan) apabila ahli waris terdiri atas kakek dan saudara. Ibnu Hazm menisbahkan pendapat ini kepada ‘Umar, Sa’id ibnu Jabir dan kemudian diikuti oleh kadi Syuraih dan Muhamad ibnu al-Hasan (menjelang akhir hayatnya) dari kalangan ulama madzhab. Ucapan ‘Umar di atas (orang yang paling dekat) merupakan selogan yang digunakan untuk menguatkan arah yang dipilih ini.
(2) Tidak ada aturan pasti yang berlaku umum. Masalah ini diserahkan kepada kebijakan khalifah (pemimpin masyarakat) dengan mempertimbangkan keadaan masing-masing kasus. Pendapat ini beliau menisbahkan kepada Zaid ibnu Sabit, Ibnu Mas’ud, ‘Umar dan ‘Usman. Di antara riwayat tentang pendapat ini berbunyi: pernah kepada ibnu Mas’ud diajukan pertanyaan tentang hak kewarisan kakek dan saudara laki-laki. Lalu beliau menjelaskan perbedaan pendapat yang ada dan berkata, kami hanya mengikuti keputusan yang diberikan oleh pemimpin (inama naqdi bi qada’i a’immatina). Kelihatannya pendapat ini ingin menonjolkan pertimbangan kemaslahatan, sesuai dengan keadaan kasus perkasus. Namun menurut penulis, sekiranya ada “ukuran” yang bisa dijadikan sebagai pegangan pokok, tentu akan lebih baik.
(3) Kakek terhijab. Semua waris menjadi hak saudara dan kakek terhijab. Pendapat ini dinisbahkan kepada Zaid, yang menyampaikanya dalam sebuah musyawarah yang diadakan ‘Umar.
(4) Berbagi rata sampai batas tertentu. Kakek akan berbagi rata dengan saudara sampai batas sampai sepertiga belas warisan. Setelah ini bagian kakek tidak boleh lagi dikurangi. Pendapat ini dinisbahkan kepada Abu Musa.
(5) Sudara terhijab oleh kakek. Dalam pendapat ini kakek betul-betul menjadi ahli waris pengganti terhadap ayah. Ibnu Hazm mnisbahkan pendapat ini kepada Abu Bakar,’Umar, ‘Usman, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mu’az ibnu Jabal, ‘A’isyah dan beberapa yang lain. Dari kalangan madzhab ini diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Dawud az-Dahiridan Ibnu Hazm sendiri. Alasan utama kelompok ini adalah pendapat Ibnu Abbas yang menjadikan kakek sebagai pengganti ayah berdasarkan beberapa ayat Qur’an. Alasan ini tidak terasa cukup kuat, dan tidak sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas sebelimnya tadi.
Menurut ashabu l-furudh, kakek mendapat beberapa bagian, yaitu 1/6, 1/3, muqasamah dan asabah. Para ulama sepakat bahwa kakek gugur (mahjub) apabila terdapat ayah dan ayah juga dapat menggugurkan saudara-saudara. Para sahabat berpendapat apakah kakek dapat menggugurkan saudara-saudara atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat:[9]
1.      Abu Bakar Shidiq, Ibnu Abbas dan Umar berpendapat, bahwa kedudukan kakek jika tidak ada bapak, adalah sama dengan bapak. Oleh kerena itu kakek dapat menghalangi saudara kandung dan seayah secara mutlak. Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah. Alasan yang digunakan adalah penggunaan kata ab (ayah) dalam al-quran menunjukan kata jadd (kakek). Firman Allah SWT:
 “Dan aku pengikut agama bapak-bapakku Yaitu Ibrahim.” (Q.S. Yusuf {12}: 38).
2.      Ali Bin Abi Thalib, Ibnu Mas,ud, Zaid bin Tsabit berpendapat, bahwa kakek hanya dapat menghijab saudara-saudara seibu, tetapi tidak dapat menghijab saudara-saudara sekandung atau seayah. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Alasan mereka, saudara dan kakek hubungan kekerabatannya dengan muwarrist (mayit) sama-sama melalui garis bapak dan tidak ada ketentuan nash yang menunjukan bahwa kakek menghijab saudara-saudara.
Selanjutnya kutipan-kutipan di atas memberi petunjuk bahwa sahabat hanya sepakat menjadikan kakek sebagai pengganti ayah, adalah ketika bersama-sama dengan keturunan. Adapun untuk menerapkannya dalam kasus bersama-sama dengan sudara, timbul keragu-raguan mereka. Kuat dugaan hal ini adalah karena ketiadaan nash yang jelas yang mengatur hak kakek dan saudara. Hak kewarisan disebutkan secara langsung di dalam Qur’an sedang hak kewarisan kekek hnyalah berdasarkan penalaran, dalam hal ini perluasan arti al-ab, pilihan arti kalalah serta penafsiran Hadist-hadist yang tidak memberi gambaran jelas. Ibnu Hazm, ketika mengemukakan uraiannya tadi, tidak mencantumkan sebuah Hadist  pun sebagai dalil, baik untuk menguatkan maupun untuk membantah. Sendang dia adalah orang yang sangat mengandalkan riwayat. Tetapi sampai batas tertentu, mungkin juga beranggapan, perbedaan pendapat tersebut terjadi karena faktor-faktor psikologis; maksudnya, karan ada perbedaan antara arah yang ingin dituju Quran di satu pihak dan kenyataan yang ada dalam masyarakat Arab waktu itu di pihak lain.
Kembali ke pendapat sahbat-sahabat tadi, terlihat ada keinginan untuk melebihkan kakek  atas saudara, tetapi dengan salah satu dari dua cara. Pendapat pertama langsung menghijab saudadra; pesndapat kedua hanya sekedar menetapkan, bahwa kakek harus mendapat jumlah tertua(tidak boleh lebih kecil daripada saham masing-masing saudara).
Pendapat pertama yang diikuti oleh Abu Hanifah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Qayyim, tidak diuraikan lebih lanjut karena sederhana dan jelas alasannya. Pendapat kedua, yang diikuti mazhab Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah, akan diperinci lebih detail.
Kakek berbagi rata dengan saudara laki-laki sampai batas sepertiga tersebut hayalah apabila tidak adak ahli wars lain; kakek dan saudara sama-sama menjadi asbah. Ketentuan berbagi rata adalah karena kakek dan sudara sianggap setingkat,sama-sama berjarak dua derajat dari pewaris dan sama-sama berhubungan melalui ayah. Ketentuan ketentuan tidak boleh kurang daddri seperenam warisan di-qiyaskan dengan keadaan ketika mewarisi bersama-sama dengan anak.ketentuan tidak boleh kurang dari sepertiga sisa di-qiyas-kan kepadada keadaan dua kali bagian ibu.
Selajutnya, menurut mazhab Maliki, Syafi’iyah, dan Hambilah tadi, penhijaban saudara kandung terhadap saudara seayah tidak diperhitungkaan ketika menentukan besar saham. Maksudnya, saudara dan saudara seayah dianggap setingkat ketika menentukan saham perolehan dan karenanya dia pun akan mendapakan saham. Tetapi di dalam pembagian, saham yang menjadi milik saudara seayah itu diserahkan kepada sudara kandung dan dia sendiri tidak mendapat apa-apa. Jadi kehadiran saudara seayah hanya diperhitungkan untuk memperkecil saham kakek dan untuk keuntungan saudara kandung. Dia sendiri tidak mendapat apa-apa. Mungkin keadaan ini dapat menjadi pentunjuk tambahan tentang masih ada keragu-raguan dalam penglebihan kakek atas saudara.[10]
D.    Kewarisan kakek dan Saudara menurut Hukum perdata (K.U.H.Perdata)
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sahatau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a.       Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b.      Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris;
c.       Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d.      Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undangundang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari pewaris.[11]
Untuk golongan saudara dan kakek termasuk pada golongan ke II saudara dan golongan ke III kakek. Dalam sekema golongan saudara dan kakek dapat kita lihat di bawah ini:
Golongan II                                                     orang tua dan saudara kandung


Pasal 854 s.d 857 BW




Golongan III                                                 kakek + Nenek (ke atas)
                                                                                                           kloving
Pasal 850 s.d 853 






Pada gol. III terjadi kloving     ½ harta untuk keluarga ibu dan ½ untuk keluarga ayah, keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas       pasal 850 s.d 853.[12]




BAB III
PENUTUP
Dalam berbagai penjelasan yang telah di paparkan di atas mengenai kewarisan saudara dan kakek dapat di tarik kesimpulan bahwa kakek mendapatkan bagian dan saudara mendapatkan bagian dari dan berapa.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama dan dalam hukum islam juga menurut hukum perdata,
Saudara seayah mndapatkan :
1.      Setengah (1/2) jika sendirian.
2.      Dua pertiga (2/3) jika berdua ataulebih.
3.      Asabah bi l-ghair jika ada saudara laki-laki seayah.
4.      Asabah ma’a l-gair jika ada anak atau cucu perempuan.
5.      Seperenam (1/6) sebagai pelengkap dua pertiga. Dasar ini diqiaskan dengan bagian cucu perempuan yang mewarisi bersama seorang anak perempuan.
Dan saudara seibu :
1.      Seperenam (1/6) jika sendirian.
2.      Sepertiga (1/3) jika berdua atau lebih.
Pusaka kakek sahih dan kakek gair sahih :
Oleh karna kakek shahih itu menduduki status ayah dengan ketentuan seperti tersebut di atas, maka ia mendapat bagian pusaka seperti bagian aya juga, yaitu
1.      1/6 fardh,dalam keadaan bila si mati yang mewariskan harta peninggalannya mempunyai anak turun yang berhak waris yang laki-laki(far’u-warist-mudzakkar).
2.      1/6 fardh, dan sisa dengan jalan ‘ushubah, dalam keadaan bila si mati yang mewariskan harta peninggalannya mempunyai anak turunan yang berhak wars yang perempuan (far’u-waits-muannas).
DAFTAR PUSTAKA
Al Yasa Abubakar. Ahli waris Sepertalian Darah : Kajian perbandingan penalaran Hazairin dan penalaran fiqih mzdhab, Jakarta. 1998
Eman Suparman. Hukum Waris Indonesia dalam prsepektif Islam,Adat dan BW. Frika Aditama 2005.
Fatuchur Rahman. Ilmu Waris. Al-Maa’rif. Bandng.1994
Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris, Remaja Rosdakarya. Bandung. 2007
R. Subekti. Kitab Undang-undang Hukum perdata (BW). Peradnya Paramita. Jakarta. 2007



[1] Al Yasa Abubakar, Ahliwaris Sepertalian Darah : Kajian perbandingan penalaran Hazairin dan penalaran fiqih mzdhab, Jakarta. 1998. Hal. 156
[2] Ibid, hal. 157-158
[3] Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris, Remaja Rosdakarya. Bandung. 2007. hal. 69-70
[4] Ibid, hal. 71-72
[5] Fatuchur Rahman. Ilmu Waris. Al-Maa’rif. Bandng.1994 hal. 264
[6] Ibid, hal. 267
[7] Ibid, hal. 271
[8] Opcit, Al Yasa Abubakar. hal. 161
[9] Opcit, Hasbiyallah. hal. 74
[10] Opcit, Al Yasa Abubakar,hal 164
[11] Eman Suparman. Hukum Waris Indonesia dalam prsepektif Islam,Adat dan BW. Frika Aditama 2005. hal. 25
[12]R. Subekti. Kitab Undang-undang Hukum perdata (BW). Peradnya Paramita. Jakarta. 2007.hal 227-228.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar