Jumat, 03 Juni 2011

Jarimah Pelukaan

BAB II
PEMBAHASAN

E.     Jarimah Pelukaan
Jarimah penganiayaan atau jarimah pelukaan adalah suatu bentuk tindak pidana yang sangat tidak diperbolehkan dalam islam. Undang-undang tidak member ketentuan jelas mengenai definisi “penganiayaan” namun menurut yurisfundensi maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.
Pelukaan itu ada dua macam. Yaitu pelukaan yang dikenai qhisash,diyat, atau pemaafan. Dan pelukaan yang dikenai diyat atau pemaafan. Pembicaraan mengenai pelukaan qishash meliputi syarat-syarat orang yang melukai, syarat-syarat pelukaan, yang menyebabkan qishash, serta syarat-syarat orang yang dilukai. Juga tentang hukuman qishash yang wajib dilaksanakan dari penggantinya apabila jika ada penggantinya.
F.     Syarat Orang yang melukai
Disyaratkan bahwa orang yang melukai itu harus orang yang mukalaf. Syarat ini juga berlaku bagi orang yang membunuh, yaitu dewasa dan berakal. Dan kedewasaan itu ditandai dengan mimpi mengeluarkan mani (seperma) dan usia tanpa ada perselisihan di kalangan Fuqaha, meski masih ada perselisihan tentang batas usia. Menurut Syafi’I, maksimal berusia delapan belas tahun, dan minimal usia lima belas tahun.
Jika seorang memotong anggota tubuh orang lain, maka tidak ada perselisihan ia dikenai qishash, jika pelukaan tersebut memenuhi keriteria terkena qishash. Kemudian Fuqaha berselisih pendapat, apabila sekelompok orang memotong satu anggota badan.Menurut fukaha Zahiri, memotong satu tangan tidak bisa dibalas (diqishash) dengan memotong dua tangan.
Sedang menurut Maliki dan Syafi’i, beberapa tangan dapat dipotong (diqisahash) karena satu tangan, seperti beberapa orang dapat dihukum mati karena membunuh satu orang.
Dalam hal ini ulama Hanafiayah memisahkan antara jiwa dengan anggota badan. Mereka berpendapat bahwa beberapa anggota badan tidak dapat dipotong karena satu anggota badan, tetapi beberapa jiwa (orang) dapat diqishash karena membunuh satu jiwa. Bagi mereka, anggota badan itu dapat dibagi-bagi, tetapi lenyapnya jiwa tidak dapat dibagi-bagi.
Fuqaha juga berselisih pendapat tentang tumbuhnya rambut dikemaluan. Menurut Syafi’i, itu merupakan tanda kedewasaan (al-buligh), secara mutlak.
Sedang dalam madzah Maliki, tumbuhnya rambut di kemaluan itu masih diperselisihkan jika berkaitan dengan hudud. Apakah tumbuhnya rambut kemaluan itu tanda kedewasaan atau bukan?
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
 Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
A.    Orang yang dilukai
Setatus sosial orang yang dilukai itu disyaratkan seimbang dengan jiwa orang yang melukai. Factor yang mempengaruhi keseimbangan ini ialah kehambaan dan kekufuran.
Mengenai pertengkaran antara hamba dengan orang yang merdeka masih diperselisihkan di kalangan fuqaha, apakah luka yang terjadi sebagai akibat pertengkaran itu mengharuskan qishash atau tidak? Perselisihan ini juga berlaku bagi pembunuhan diantara keduanya.
Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqisahash karena melukai hamba. Tetapi diqisahah karna melukai orang merdeka. Ketentuan ini juga berlaku bagi pembunuh. Sementara dari Maliki terdapat dua riwayat. Yang benar qisahsah itu dapat dilaksanakan, baik baik karena kasus pembunuhan maupun khusus pelukaan. Demikianlah kedudukan hamba jika bertengkar dengan orang merdeka.
B.     Pelaku yang dikenai Qisahash
Pelaku yang harus diqisahash disyaratkan, pelaku itu terjadi dengan sengaja. Melukai itu ada yang menyebabkan kebinasaan pada salah satu anggota badan orang yang dilukai dan ada yang tidak menyebabkan kebinasaan. Jika terjadi pelukaan yang menyebabkan anggota badan cacat, maka itu disabut pelukaan disengaja, dalam arti sengaja memukul korban dengan niat “main-main” atau memukul dengan alat yang biasanya tak membuat korban itu luka.
Kusus ini menjadi pangkal perselisihan diantara fuqaha. Ini serupa dengan perselisihan mereka dalam kasus pembunuhan yang diakibatkan dengan otek pemukulan pada suatu permainan atau pemberian pengajaran dengan menggunakan alat yang pada galibnya tidak akan menyebabkan kematian. Dalam hal ini pegangan Abu Hanifah adalah alat yang digunakan, sehingga ia berpendapat bahwa orang yang membunuh dengan menggunakan “benda berat” tidak dihukum mati, dan ini pendapat menyeleneh (syadz) Abu Hanifah. Perselisihan di ini berkenaan dengan persoalan: Apakah harus dikenakan qisahash atau diyat jika pelukaan tersebut harus dikenakan diyat. Jika pelukaan itu membuat cacat/menghilangkan salah satu anggota badan korban, maka diantara syarat dikenakannya qisahash adalah adanya urusan kesengajaan, tanpa adanya perselisihan pendapat.
Kemudian diperselisihkan juga antara pelukaan yang di sengaja dan tidak. Jika seseorang memukul anggota.badan yang berakibat anggota badan korban putus ia memukul dengan suatu alat yang pada galibnya dapat memotong anggota badan atau memukul dengan motip permusuhan, maka tidak ada perselisihan bahwa perbuatan tersebut dikenai qisahash. Tetepi jika ia memukul dengan kepalan tangan, semeti, atau alat-alat lain yang sejenis, yang pada lahirnya tidak dimaksudkan untuk membuat cacat anggota badan, seperti jika ia memukul, yang berakibat bola mata korban keluar, maka jumhur fuqaha berpendapat bahwa perbuatan tersebut dikatagorikan “mirip sengja (sibhil ‘amd)”, dan tidak dikenakan qisahash, tetepi karena diyat berat terhadap hartanya.
Jika salah seorang melukai dengan niat main-main atau terjadi pada arena permainan (olah raga bela diri) yang berakibat salah satu anggota badan korban itu cacat (terpotong), maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama dikenai qiash dan kedua tidak. Berdasarkan pendapat kedua ini, diat yang berat. Dan menurut pendapat lain, dikenakan diyat karena kekeliruan, yakni terhadap pelukaan yang harus dikenai diyat.
C.    Pelukaan Sengaja
Apabila pelukaan sengaja itu terjadi sesuai dengan syarat-syarat yang kami sebutkan, maka harus dikenakan qisahash, berdasarkan firman Allah.
“….. dan luka luka (pun) adalah  qisahasnya.(Al-Maidah:45)
Yaitu semua tindak pidana yang bisa dikenai qiashashnya terhadap anggota badan yang tidak dikhawatirkan akan berakibat kematian. Menurut Malik dan para fuqaha yang mengikuti pendapatnya, ketentuan hukumanya sama dengan tindakan pelukaan lain yang semisal itu, seperti mematahkan tulang leher, tulang punggung, dada, paha, dan sebagiannya.
Tentang pelukaan yang mencopot tulang, pendapat maliki tidak tegas. Kadang ia menetapkan qiashash dan kadang menetapkan diyat. Begitu pula Maliki kurang tegas tentang tindak pidana melukai yang tidak dikenai qisahash yang sama (setimpal), seperti pengenaan qisahash karena menghilangkan sebagian penglihatan atau pendengaran. Bagi Maliki, ketidaksamaan yang juga menghalangi qisahash seperti orang buta menculik mata orang yang bisa melihat. Dari sini Fuqaha berhasil berselisih pendapat tentang orang yang buta sebelah menculik mata orang sehat secara sengaja. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa jika orang yang sehat matanya itu menginginkan qisahash, maka ia bisa “mengambil” mata orang yang buta sebelah itu.
Kemudian fuqaha berselisih pendapat apabila orang tersebut memeaafkan dan dan tidak mau mengqisahashnya. Menurut Maliki, jika ia menghendaki, maka ia bisa menerima diyat sepenuhnya, yaitu seribu dinar. Sedangkan menurut Syafi’i, orang tersebut hanya menerima seperuh diyat. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Malik. Pendapat yang sama dengan Syafi’i ini juga dikembangkan oleh Ibnu Qasim. Dan yang sama dengan pendapat Malik disampaikan oleh al-Mughirah dari kalangan pengikut Syafi’i dan juga oleh Ibnu Dinar.
D.    Waktu Pelaksanaan Qisahash Pelukaan
Malik berpendapat bahwa qisahash terdapat pelukaan baru dilaksanakan sesudah korban mendekati sembuhnya. Tetapi Syafi’i berpendapat harus segera. Jadi, dalam hal ini Syafi’i memegangi lahirnya nash, sementara Maliki berpendapat bahwa kelanjutan dari tindak pelukaan itu harus dipertimbangkan karena dikhawatirkan pelaku itu akan mengakibatkan kematian. Ulama berselisih pendapat tentang orang yang mengambil qisahash karena pelukaan, kemudian orang yang di qisahash itu mati akibat luka yang dideritanya itu. Menurut Malik, Syafi’i, Abu Yusuf, dan Muhamad, orang yang mengambil qisahash tidak terkena resiko apa pun. Pendapat seperti ini diriwayatkan pula dari Ali dan Umar r.a. pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Ahmad, Abu Tsaur, dan Dawud.
Sedangkan Abu Hanifah, at-Tsauri Ibnu Abi Liaila, dan segolongan fuqaha berpendapat, apabila orang yang diqisahash itu mati, maka keluarga yang mengambil qisahash wajib membayar diyat. Segolongan fuqaha berpendapat bahwa diyat tersebut dari sebagian hartanya. Menurut Utsman al- Bati, kadar luka-luka yang dibalas dengan qisahash itu menggunakan diyat. Ini pendapat Ibnu Masud. Dalam pendapat itu, menurut  Malik apabila cuaca sangat panas atau sangat dingin, maka pelaksanaan qisahash ditunda. Karena dikhawatirkan orang yang akan diqisahash itu akan mati. Dan disyaratkan pula tempat yang menjadi pelaksanaan qisahash adalah bukan tanah haram. Demikianlah hukum-hukum yang berkenaan dengan kejahatan pidana terhadap jiwa dan anggota badan.    

DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta, Pustaka Amania 2007
H.A Djazuli, fiqih jinayah, Jakarta, Grapaindo Persada. 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar