Rabu, 01 Juni 2011

Pengertian Mahram


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahram
Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan.Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan, mahrm wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah atau anak tirinya (Tanbihat  ‘Ala Ahkam Takhtashshu Bil Mu’minat hal.67).
Adapun istilah muhrim yang lazim digunakan oleh kaum muslimin dalam perkara ini perlu dicermati. Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang sedang berihram untuk ibadah haji atau umrah. Sehingga penggunaannya tidaklah tepat, melainkan merujuk kepada istilah dan pengertian di atas.
Maksud larangan dalam pernikahan ialah larangan  untuk menikah (kawin) antara seorang pria dan wanita,menurut syarak,larangan tersebut dibagi dua yaiatu halangan abadi dan halangan sementara.diantara larangan-larangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan.larangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu:
1.      Nasab (keturunan)
2.      Pembebasan (karena pertalian kerabat semenda);dan
3.      Sesusuan.
sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu:
1.      Zina;dan
2.      Li’an.
Halngan-halangan sementara ada Sembilan, yaitu:
1.      Halangan bilangan;
2.      Halangan mengumpulkan;
3.      Halangn kehambaan;
4.      Halangan kafir
5.      Halangan ihram;
6.      Halangan sakit;
7.      Halangan ‘idah (meski masih diperselisihkan segi kesementaraannya)
8.      Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan;dan
9.      Halangan peristrian.
B.     Macam-macam Mahram
a.       Larangan nikah karena adanya pertalian nasab.
Fuqaha sependapat bahwa wanita yang diharamkan untuk dikawin dari segi nasab ada tujuh dalam al-Qur’an, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perenmpuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan ibu, anak perempuan saudara perempuan, dan perempuan saudara laki-laki.
Ketujuh perempuan yang terkait nasab di atas haram untuk dikawin, dan sepengetahuan saya tidak ada silang pendapat dalam masalah ini.dasar pengharaman ini firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” (QS. An Nisa: 23).
Berdasarkan ayat di atas, wanita yang haram di nikahi untuk selamanya (halangan abadi) karena pertalian nasab adalah:
  1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas .
  2. Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah .
  3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
  4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
  5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
  6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, sebapak atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
  7. Putri saudara laki-laki sekandung, sebapak atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
b. larangan nikah (wanita yang haram dinikahi)karena hubungan sesusuan.
larangan nikah Karena hubungan sesusuan berdasarkan lanjutan surat An-nisa  ayat 23 di atas:
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusukan kamu, yang saudara-saudaramu yang perempuan sesusuan…”
Persusuan adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu (Al Mufashol Fi Ahkamin Nisa’).
Sedangkan persusuan yang menjadikan seorang mahrom adalah sebanyak lima kali persusuan, berdasarkan hadits dari ’Aisyah radhiallahu ’anha, beliau berkata : ”Termasuk yang diturunkan dalam Al Qur’an bahwa sepuluh kali persusuan kemudian dihapus dengan lima kali persusuan (HR.Muslim).
Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Jumhur (mayoritas) ‘ulama sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di dan  Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah Swt: "Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya." (QS. Al-Baqarah: 233).
Dan Hadits Aisyah radhiallahu 'anha bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar (muttafaqun 'alaihi) dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa. bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Al-Qur'àn menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan: "(1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2) dan saudara-saudara perempuan sepersusuan" (QS. An Nisà' 23).
Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hàfizh 'Imàduddin Ismà'il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda artinya : "Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan".(HR.Bukhàri dan Muslim).
Mahram dari sebab persusuan seperti mahram karena nasab yaitu :
1.         Ibu susu, termasuk juga nenek persusuan yaitu ibu dari ibu atau bapak persusuan, juga ibu-ibu mereka ke atas.
2.      Anak perempuan dari ibu susu, termasuk cucu dan seterusnya ke bawah.
3.      Saudara perempuan sepersusuan, baik dia saudara kandung, sebapak maupun seibu.
4.      Saudara perempuan bapak susu (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5.      Saudara perempuan ibu susu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
6.      Putri saudara perempuan persusuan (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah.
7.      Putri saudara laki-laki persusuan (keponakan) cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah.
Sebagai tambahan,penjelasan sekitar susuan ini dapat dikemukakan beberapa hal:
1.      Sususan yang mengakibatkan keharaman perkawinan ialah susuan yang diberikan pada anak yang memang masih memperoleh makanan dari air susu.
2.      Mengenai beberapa kali seorang ibu bayi menyusui pada seorang bayi yang menimbulkan keharaman perkawinan seperti keharaman hubungan nasab sebagaimana tersebut, dengan melihat dalil yang kuat, ialah yang tidak dibatasi jumlahnya, asal seorang bayi telah menyusui dan kenyang pada perempuan itu menyrbabakan keharaman perkawinan. Demikain pendapat Hanafi dan Maliki. Menurut Syafi’I, sekurang-kurangnya lima kali susuan dan mengenyangkan. Adapun pendapat Tsaur Abu Ubaid, Daud Ibnu Ali Al-Zahiri dan Ibnu Muzakkir, sedikitnya tiga kali susuan yang menyenangkan.

c. larangan karena sebab Perkawinan
Mahram yang disebabkan pernikahan adalah orang-orang yang haram dinikahi karena sebab pernikahan. Allah Swt berfirman artinya : ”... ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS.An Nisa 23).
Maka mahram sebab perkawinan, yaitu :
1.      Isteri.
2.      Ibu mertua.
3.      Anak tiri.
4.      Anak menantu.
5.      Anak tiri.
Menurut Jumhurul `Ulàmà' termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
Rasulullàh Saw juga melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu; dan ayah. Nabi bersabda: "Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya" (HR. Bukhàri dan Muslim).
Jadi, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu. Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawàtirah dan 'ijmà`ul `ulàmà'.( Muhammad bin Muhammad Asy Syaukàniy, Fathul Qadir).
Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara,menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup.Utsmàn bin 'Affàn menikahi Ummu Kultsùm setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Saw.
Allàh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami, berdasarkan firmanNya artinya :"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami" (QS An Nisà' :24). Oleh karena itu, perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan. "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina" (QS An Nisà' :24).
Imam syafi’I berpendapat bahwa larangan perkawinan karena mushaharah hanya disebabka karena semata-mata akad saj, tidak tidak bis karena perzinaan, dengan alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu disamakan dengan hubungan mushaharah.sebaliknya Imam Abu Hanifa berpendapat bahwa larangan perkawinan karena mushaharah, disamping disebabkan akad yang sah, bisa saja disebabakan karena perzinaan.perselisihanp pendapat disebabakan oleh perbedaan dalam menfsirkan firman Allah yang berbunyi: ”janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu…” (QS,An-nisa:22).
sebagian ulama berpendapat, ini berlaku pula secara timbal balik buat ibu istri (mertua), artinya, haram pula mengawini ibi istri (merttua) hukumannya tidak haram sedangkan yang lainnya rbagi mertua. Mereka berselisih pendapat dalam memahami ayat 23 surat An-nisa:
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
“Diharamkan kepadamu mengawini ibu-ibu istri kamu dan anak-anak tirimu yang dalam lindunganmu diman kamu menyetubuhi mereka . (QS. An Nisa: 23).
a.      Wanita yang haram di nikahi karena sumpah li’an
Seorang suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi, maka suami diharuskan bersumpah empat kali dan yang kelima dilanjutkan dengan menyatakan bersedia mernerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Istri yang mendapat tuduhan itu bebas dari hukuman zina kalau mau bersumpah seperti suami diatas empat kali dan yang kelima kalinya diteruskan bersedia mendapat laknat bila tuduhan suami itu benar, sumpah demikian disaumpah demikian disebut sumpah li’an. Apabila terjadi sumpah li’an antara suami istri maka putuslah hubungan perkawinana keduanya untuk selama-lamanya. Keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-nur :6-9:
Fuqaha berselisih berpendapat mengenai “perkawinan” orang perempuan yang berzina. Jumhur fuqaha membolehkannya, sedangkan golongan fuqaha melarangnya.segolongan fuqaha lagi berpendapat bahwa berdasarkan aturan pokok tersebut,zina dapat menyebabakan batalnya perkawinan. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Hasan. Mengenai perkawinan istri yang bersumpah li’an dengan suami yang juga bersumpah li’an dikemukakan di kitabul li’an.
b.      Halangan jumlah istri
Kaum muslimin sepakat bahwa mengawini empat orang wanita bersama-sama, bagi orang-orang lelaki merdeka, itu dibolehkan,yaitu tentang hamba sahaya, dan mengawini istri lrbih dari empat orang wanita.
Mengenai hamba sahaya, menurut yang terkenal dari malik hamba itu boleh mengawini empat orang wanita,. Pendapat ini juga dikemukakan oleh fuqaha Zhahiri.
c.       Halangan kehambaan
Fuqaha telah sependapat bahwa seorang boleh mengawini hamba perempuan, dan perempuan merdeka juga boleh kawin dengan hamba sahaya, apabila ia dan wali-walinya rela dengan yang demikian.
Segoplongan fuqaha berppendapat perkawinan itu boleh secara mutlak. Ini pendapat yang dikenal dari ibnu qasim.
Fuqaha lainnya berpendapat bahwa permkawinan ini hanya dibolehkan berdasarkan dua syarat, karena tiadak mampu dan takut menderita (al-anat). Ini pendapat yang terkenal dari malik. Dan ini juga pendapat Abu Hanafi dan Syafi’i.
d.      Halangan karena kekafiran
Fuqaha sependapat bahwa seorang muslim tidak boleh mengawini perempuan kafir penyembah berhala berdasarkan firman Allah:
“Dan jangan tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.”(QS.al-Muntahanah :10)
Fuqaha juga sependapat boleh mengawini perempuan kitabi (masehi atau yahudi) yang merdeka, kecuali suatu pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. tentang masalah itu.
e.       Halangan ihram
Malik, Syafi’I,al-laits,Auza’I, dan Ahmad berpendapat bahwa orang yang sedang berihram tidak boleh kawin atau mengawinkan. Jika ia membuat demikian, mak nikahnya batal ini juga pendapat Umar bin al-khathab r.a, Ali r.a, Ibnu Umar r.a, dan Ziad bin Tsabit r.a. sedangkan Abu Hanifa berpendapat bahwa hal itu dibolehkan.
f.       Halangan sakit berat
Fuqaha berselisih pendapat mengenai perkawinan orang yang sedang menderita sakit berat. Abu Hanifa dan Syafi’I membolehkannya. Sedangkan Malik tidak membolehkannya berdasarkan penfapat yang terkenal darinya.dan berdasarkan pendapatnya ini dapat disimpulkan sah, bukan kewajiban.
g.      Halangan Iddah
Fuqaha sependapat bahwa perkawinan pada masa idah itu tidak boleh, baik idah haid, atau idah talak. Berselisih pendapat tentang seorang mengawini seorang perempuan pada  masa  idahnya dan telah menggaulinya. Malik, Auza’I dan al-laits berpendapat bahwa kedua orang itu dipisahkan, dan perempuan itu dibaginy tidak halal selamanya.
Abu Hanifah, Syafi’I, dan Tsaur berpendapat bahwa keduanya dipisahkan. Kemudian apabila iddah talak di antara keduanya telah habis, mak ada halangan bagi lelaki itu untuk kawin kembali dengan perempuan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar