Rabu, 01 Juni 2011

Pengertian Syiqoq


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Salah satu asas perkawinan yang disyari'atkan adalah perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling mencintai. Dalam sebuah perkawinan kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan hak masing-masing baik suami ataupun isteri dalam sebuah keluarga.
Dalam melaksanakan kehidupan suami isteri kemungkinan terjadi salah paham antara keduanya, ataupun tidak saling mempercayai antara suami isteri tersebut. Keadaan itu adakalanya dapat diselesaikan sehingga hubungan suami isteri baik kembali dan adakalanya tidak dapat di selesaikan atau didamaikan, bahkan kadang-kadang menimbulkan kebencian, pertengkaran yang terus menerus antara keduanya, hal tersebut bisa terjadi karena peran dan fungsi mereka khususnya bagi suami ataupun isteri sudah tidak melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing.
Terlepas dari kewajiban dan hak seorang isteri kepada suami atau sebaliknya, pada kesempatan kali ini kami tak akan membahas mengenai hal tersebut, akan tetapi kami akan membahas mengenai Syiqaq yang dapat terjadi disaat suami atau isteri tidak melaksanakan apa-apa yang menjadi kewajiban dan hak mereka masing-masing dalam sebuah keluarga.
B.     Rumusan masalah
a.       Apakah pengertian Syiqaq?
b.      Apa sebab-sebab timbulnya Syiqaq?

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Syiqaq
Syiqaq menurut bahasa berarti perselisihan atau retak. Sedangkan menurut istilah syiqaq berarti krisis memuncak yang terjadi antara suami-isteri sedemikian rupa, sehingga antara suami isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya. Menurut istilah Fiqih, Syiqaq merupakan perselisihan antara suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang hakim yaitu seorang hakim dari pihak suami dan seorang hakim dari pihak isteri. Dimana kedua hakim tersebut bertugas untuk mendamaikannya.[1]
Menurut Rachman dalam salah satu bukunya menjelaskan syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut dapat terjadi karena prilaku salah satu pihak dari pasangan suami isteri itu bersifat tidak baik, atau salah satunya bersikap kejam terhadap yang lainnya, atau seperti yang sering terjadi antara suami dan isteri tidak dapat hidup rukun dalam satu keluarga maka dalam kasus ini syiqaq lebih mungkin terjadi, namun hal tersebut, tergantung pada kedua belah pihak apakah mereka akan memutuskannya ataukah tidak.
B.     Dasar hukum syiqaq.
Dasar hukum syiqaq ialah firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 35  yang berbunyi: [2]

Perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Menurut firman Allah SWT tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami isteri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab tentang terjadinya syiqaq serta berusaha mendamaikannya. Atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.
Mengenai masalah kewenangan yang dimiliki oleh kedua hakam, para ulama' berselisih pendapat bahwa tugas kedua hakam tersebut hanya sebagai juru damai saja, bukan berwenang untuk menceraikan ikatan perkawinan. Sedang menurut pendapat Imam Maliki karena keduanya telah ditunjuk oleh pengadilan agama, oleh karena itu, kedua hakam tersebut juga mempunyai kewenangan dimana kekuasaannya sebagaimana yang dimiliki oleh pengadilan agama, yaitu berwenang untuk menceraikannya, baik dalam bentuk memaksakan untuk perceraian dalam bentuk talak ataupun dalam bentuk Khulu' (talak tebus).[3]
C.     Sebab-Sebab Terjadinya Syiqaq
Diantara sebab-sebab terjadinya syiqaq antara lain, adanya kemungkinan timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu yang lama atau dia hilang dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya. Sehingga tidak bisa memberi nafkan kepada isterinya, maka dalam keadaan demikian dapat terjadi syiqaq. Jika seorang istrinya menginginkan perceraian, tetapi jika tidak, maka ikatan perkawinan itu tetap berlangsuang. Apabila salah seorang dari pasangan itu murtad, keluar dari Islam, maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian. Tetapi berdasarkan pendapat para ulama' lain, perkawinan itu secara otomatis ada perceraian. Sedangkan jika suatu pasangan itu bukan muslim, lalu memeluk Islam, maka perkawinan mereka dapat diteruskan. Namun apabila hanya seorang dari mereka yang menerima Islam, maka perkawinannya dapat dipisahkan walau tanpa perceraian.
Bila isteri yang memeluk Islam kalau perkawinannya batal dan dia mulai melakukan masa iddah, kemudian andaikan mantan suaminya ikut memeluk Islam sesama masa iddahnya itu, maka suaminya lah yang berhak menikahinya, jika suaminya memeluk Islam, sedangkan isterinya seorang Nasarani, maka suaminya boleh mengizinkan isteriya untuk tetap menganut agamanya. Tetapi bila suaminya menerima Islam sedangkan isterinya Tuang Sihir, akan tetapi seorang isteri tersebut segera memeluk Islam mengikuti suaminya, maka mereka dapat terus berdampingan sebagai suami isteri. namun apabila wanitanya tidak menerima Islam, maka segera saja pernikahan mereka bubar
Syiqaq atau biasanya di sebut perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri sehingga pernikahan tidak dapat dipertahankan lagi. Alasan mengapa syiqaq ini banyak terjadi menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena komulasi dari permasalahan-permasalahan yang ada dirumah tangga, adanya perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan, masing-masing suami istri bertahan pada pada wataknya, sama-sama tidak mau mengalah sehingga kehidupan rumah tangga penuh dengan ketegangan-ketegangan yang tidak kunjung reda.
D.     Hakamain (Fungsi dan tugas penyelesaian kasus syiqaq).
a.       Pengertian hakamain
Pengertian hakamain Menurut bahasa hakamain bearti dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hkam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus.[4]
Arti hakam yang tersebut pada ayat 35 surat an-Nisa’ para ahli fiqh berbeda pendapat:
v  Menurut pendapat imam Abu Hanifah, sebagaian pengikut imam hambali, danqoul qadim dari pengikut imam Syafi’I, “hakam” itu berarti wakil. Sama halnya dengan wakil, maka maka hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak isteri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami, begitu pula hakam dari pihak tidak boleh mengadakan khuluk sebelum mendapat persetujuan dari isteri.
v  Menurut imam malik, sebagain lain pengikuta imam hambali dan qoul jadid pengikut imam Syafi’i. hakam itu sebagai hakim, sebagai hakim maka haka boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami-isteri yang sedang berselisih itu, apakah ia akan member keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar suami isteri itu berdamai kembali
Menurut pendapat pertama yang menyangkut hakam adalah pihak suamin dan pihak isteri, karena ayat 35 diatas diajukan kepada mereka.
Menurut pendapat kedua bahwa yang menyangkut hakam itu adalah hakim atau pemerintah, karena ayat diatas diajukan kepada seluruh muslimin. Dalm hal perselisihan suami-isteri, urusan mereka diselesaikan pemerintah mereka atau oleh hakim, yang telah diberi wewenang untuk mengadili perkara yang disampaikan.
b.      Fungsi dan tugas penyelesaian kasus syiqaq
Menurut firman Allah diatas, jika terjadi kasus antara suami istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami da seorang hakam dari pihak istri yang berfungsi untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab-musabab terjadi syiqaq dimaksud, serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang terbaik
Terhadap kasus syiqaq ini, hakam bertugas menyelidiki dan mencari hakekat permasalahannya, sebab-sebab timbulnya persengketaan, dan berusa sebesar mungkin untuk mendamaikan kembali. Agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika dalam perdamian itu tidak mungki ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakam ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut. Hakam main (kedua hakam) itu boleh memutuskan perpisahan antara suami istri, tanpa suami menjatuhkan talaq.
Kedudukan carai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in. artinya: antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan akad nikah baru.

BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
Syiqaq menurut bahasa berarti perselisihan atau retak. Syiqaq merupakan krisis memuncak yang terjadi antara suami-isteri sedemikian rupa, sehingga antara keduanya terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, yang pada akhirnya mereka terpecah menjadi dua pihak yang tidak mungkin dapat dipertemukan dan antara suami isteri tersebut tidak dapat mengatasinya.
Dasar hukum syiqaq terdapat dalam firman Allah surat An-Nisa' ayat 35. menurut firman Allah SWT tersebut dijelaskan jika terjadi kasus syiqaq pada suami isteri maka diutus seorang hakam dari pihak isteri dan dari pihak suami untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan mengenai sebab musabab terjadinya syiqaq, sera berusaha mendamaikan antara keduanya.
Adapun sebab-sebab terjadinya syiqaq antara lain adanya kemungkinan timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup sehingga tidak bisa memberi nafkah pada isterinya, dan apabila salah seorang dari pasangan itu murtad, keluar dari Islam maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian.










DAFTAR PUSTAKA
Kamal Muchtar (1974). Asas-Asas Hukum Islam .Jakarta: PT. Karya Unipress
Kamal Muchtar (1974). Asas-Asas Hukum Islam .Jakarta: PT. Karya Unipress
Rahmat Hakim (2000). Hukum Perkawinan Islam.Bandung: Pustaka Setia
Sulaiman Rasyid (1996). Fikih Islam. Jakarta: Sinar Baru Argensindo


[1] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: PT. Karya Unipress 1974), hal. 188.
[2]  Sulaiman Rasyid, Fikih Islam (Jakarta: Sinar Baru Argensindo, 1996), hal. 280.

[3] Opcit, Kamal Muchtar, 119
[4] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar